YSL Desak Pembebasan Samsul dan Samsir, Pejuang Mangrove yang Dikriminalisasi

Sumber Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Langkat, Sumatera Utara – Sejak lama, Samsul Bahri dan Samsir dikenal sebagai warga pesisir Langkat yang tekun merawat hutan mangrove. Bersama Kelompok Tani Nipah di Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, mereka rutin menanam bibit mangrove, membersihkan kawasan pesisir, dan berusaha mengembalikan hutan yang rusak akibat alih fungsi menjadi kebun sawit, tambak ikan, hingga penebangan ilegal.

Namun, upaya menjaga hutan itu justru berujung pada jerat hukum. Pada Februari 2021, keduanya ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Polsek Tanjung Pura atas tuduhan pengeroyokan terhadap seorang pekerja kebun sawit bernama Harno Simbolon.

Surat Panggilan Samsir
Dari Restorasi ke Kriminalisasi

Pada pertengahan Desember 2020, Samsul bersama warga kelompok tani turun ke hutan mangrove membawa cangkul dan peralatan tanam. Mereka berniat melanjutkan program rehabilitasi mangrove di lahan seluas 242 hektar yang telah mereka dapatkan izinnya melalui program perhutanan sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Di tengah kegiatan itu, datang dua orang pria yang mengaku sebagai pekerja perkebunan sawit. Salah satunya, H. Simbolon, memotret aktivitas warga. Saat ditanya, ia justru memancing keributan. Menurut penuturan Samsul, Simbolon sempat menelepon seseorang dan menyebut dirinya dianiaya, meski kenyataannya tidak terjadi penganiayaan.

Tak lama berselang, laporan dugaan penganiayaan dibuat. Pada 8 Februari 2021, surat panggilan kepolisian turun, menetapkan Samsul dan Samsir sebagai tersangka. Dua hari kemudian, setelah menjalani pemeriksaan singkat, mereka langsung ditahan.

Dukungan dan Protes

Yayasan Srikandi Lestari (YSL) bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan menilai penetapan tersangka terhadap Samsul dan Samsir sarat kejanggalan. Menurut Ketua YSL, Sumiati Surbakti, polisi mengabaikan bukti rekaman pernyataan Simbolon yang menyebut tidak ada penganiayaan, menolak saksi-saksi yang meringankan, bahkan tidak menghadirkan hasil visum.

“Keduanya ditangkap atas tuduhan yang tidak pernah mereka lakukan. Ini bentuk kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan,” ujar Sumiati.

Masyarakat pesisir Langkat pun turun ke jalan, melakukan aksi di depan Polsek Tanjung Pura untuk menuntut pembebasan Samsul dan Samsir.

Sawit Ilegal di Kawasan Hutan

Di balik konflik ini, terdapat kebun sawit ilegal seluas 65 hektar di dalam kawasan perhutanan sosial yang dikelola Kelompok Tani Nipah. Hal ini dibenarkan Kepala KPH I Stabat, Puji Hartono. Ia mengaku kebun sawit itu sudah ada jauh sebelum kemitraan diberikan, dan hingga kini status kepemilikannya tak jelas.

“Saya sendiri bingung, bagaimana bisa ada sawit di dalam hutan konservasi dan bahkan punya dokumen kepemilikan,” ujarnya.

Sementara itu, pakar ekologi Universitas Sumatera Utara, Onrizal, menegaskan bahwa keberadaan mangrove sangat vital bagi masyarakat pesisir. Kerusakan mangrove di pesisir timur Sumatera, katanya, telah menyebabkan berkurangnya biota laut hingga lebih dari 60% dalam tiga dekade terakhir, yang berdampak pada turunnya pendapatan nelayan hampir separuhnya.

Harapan untuk Keadilan

Meski menghadapi ancaman kriminalisasi, perjuangan Samsul dan Samsir bersama kelompoknya tidak surut. Lebih dari satu juta bibit mangrove telah mereka tanam demi mengembalikan ekosistem yang rusak.

Kini, YSL, LBH Medan, dan masyarakat pesisir terus mendesak aparat penegak hukum agar membebaskan Samsul dan Samsir serta menghentikan praktik kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan.

https://www.pengawal.id/2021/05/syamsul-dan-samsir-dituntut-enam-bulan.html

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top