
Sabtu, 11 Mei 2024, sekitar pukul 09.00 pagi, Safii (51) dan Taufit (33), nelayan dari Desa Kwala Langkat, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara, ditangkap secara paksa oleh lima orang, yaitu tiga anggota polisi, Olo (anggota masyarakat Kwala Langkat), dan seorang pengemudi perahu cepat. Penangkapan terjadi saat 13 nelayan ingin pulang menggunakan perahu cepat.
Safii dan Taufik, yang berada di perahu bersama 11 nelayan lainnya untuk mencari kerang, tiba-tiba didatangi polisi menggunakan perahu cepat, mendekati perahu Safii dan Taufik, dan langsung menangkap Safii dan Taufik sambil mengatakan, “Jika kalian tidak mau ikut / jika menolak, maka akan ditembak.” Saat itu polisi tidak mengenakan seragam. Setelah itu Safii dan Taufik dibawa ke Markas Polisi Tanjung Pura.
Safii dan Taufik ditangkap berdasarkan laporan dari Sarkawi alias Olo. Mereka diduga merusak rumah Sarkawi alias Olo yang terjadi pada Kamis, 18 April 2024, berdasarkan Pasal 170 ayat (1) Sub 406 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sarkawi alias Olo adalah orang yang diperintahkan oleh seorang pengusaha untuk mengubah lahan mangrove atau hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit.
Pada saat penangkapan, tidak ada surat perintah dan tidak ada bukti identitas atau pengenalan dari polisi. Salah satu pihak yang mengaku sebagai polisi membawa senjata berupa pistol. Mereka mengaku sebagai kepala polisi dan mengenakan pakaian biasa saat ditangkap. Surat perintah penangkapan baru datang sekitar pukul 12 siang, setelah penangkapan dilakukan. Sebelumnya, sekitar pukul 11 pagi, polisi mengirim surat kepada BPD melalui WhatsApp.
Profil Mengenai Safii dan Taufik
Safii dan Taufik adalah nelayan yang tinggal di Desa Kwala Langkat. Safii dan puluhan warga desa membentuk kelompok yang menanam pohon mangrove 10 tahun yang lalu. Pohon mangrove memiliki banyak fungsi bagi ekosistem laut, di mana biota laut hidup di sana, misalnya kepiting, ikan, udang, dan lainnya. Safii menanam pohon mangrove tanpa memulihkan hutan yang rusak akibat penebangan liar.
Hal ini juga dilakukan karena 90% mata pencaharian warga desa adalah nelayan, sehingga jika hutan mangrove hilang, mata pencaharian nelayan juga akan hilang. Saat ini, nelayan harus mencari ikan jauh di laut lepas dan membutuhkan biaya operasional yang lebih besar. Kondisi ini membuat nelayan semakin miskin.
Mulai tahun 2014, kami mulai menanam mangrove, dan hingga tahun 2019 kami telah menanam sekitar 20.000 pohon mangrove. Benih mangrove diperoleh dari dinas kehutanan atau dari sekitar hutan mangrove. Pada tahun 2019, sekitar 100 orang ikut serta dalam penanaman mangrove.
Sekitar 5 tahun yang lalu, kelompok ini menghentikan penanaman karena lahan mangrove telah habis, karena telah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Saat ini, pohon mangrove yang ditanam sedang dihancurkan oleh pengusaha.
Safii dan Taufik serta warga desa lainnya sering disebut orang gila karena menanam mangrove, tetapi Safii dan Taufik yakin bahwa menanam mangrove adalah salah satu cara untuk menyelamatkan desa dari banjir dan mencegah Desa Kwala Langkat tenggelam, karena desa tersebut berbatasan langsung dengan Selat Malaka.
Sekitar tahun 2004 atau 20 tahun yang lalu, pengusaha etnis Tionghoa menghancurkan hutan mangrove. Para pengusaha ini mendapatkan izin untuk menggunakan lahan hutan mangrove untuk budidaya ikan. Kemudian pada tahun 2008, kolam tersebut diubah menjadi tanaman mangrove.
Hutan tersebut telah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit yang diperdagangkan oleh kepala desa. Kami khawatir lahan yang ada akan dijual, jadi kami membentuk kelompok konservasi hutan mangrove.
Sekitar tahun 2021, kawasan permukiman dari Kampung 1 hingga Kampung 6 terendam, Desa Kuala Langkat mulai terendam akibat kenaikan air laut. “Karena air masuk ke kawasan permukiman karena pohon mangrove ditebang secara ilegal oleh pengusaha.”