Menjelang 300 Hari Kepemimpinan Gubernur Sumatera Utara, Pemerintah Dinilai Abai terhadap Reforma Agraria dan Masyarakat Adat

Medan, — Dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional 2025, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU) menggelar diskusi publik bertajuk “Refleksi Kepemimpinan: Menjelang 300 Hari Gubernur Sumatera Utara dalam Sektor Agraria” di Hotel Hermes Place Medan pada Selasa (30/9).

Diskusi ini menjadi ruang refleksi atas perjalanan panjang penyelesaian konflik agraria di Sumatera Utara yang hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda perubahan berarti. Dalam forum tersebut, para peserta menyoroti lemahnya komitmen pemerintah daerah dalam melindungi hak-hak masyarakat adat dan petani, serta lambannya pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang sudah bertahun-tahun digantung tanpa kepastian.

Ketua Perhimpunan BAKUMSU, Gindo Nadapdap, menilai bahwa negara masih gagal hadir untuk rakyat kecil.
“Konflik agraria terus berulang karena negara tidak sungguh-sungguh menata ulang sistem pengelolaan sumber daya alam. Pemerintah seolah membiarkan masyarakat adat kehilangan ruang hidupnya demi kepentingan investasi,” ujarnya.

Sementara itu, Ratih Baiduri, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan (UNIMED), menekankan pentingnya pendekatan sosial dan budaya dalam penyelesaian konflik agraria. Menurutnya, kebijakan yang hanya berorientasi pada ekonomi tanpa memperhatikan aspek sosial justru memperdalam ketimpangan.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara melalui Basarin Yunus, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat, turut hadir memberikan pandangan. Ia menyebut bahwa pemerintah daerah berupaya untuk memperkuat koordinasi lintas sektor guna meminimalisir konflik agraria. Namun, pernyataan tersebut masih menuai kritik dari peserta diskusi yang menilai langkah-langkah pemerintah belum cukup konkret dan berpihak pada masyarakat.

Salah satu mahasiswa yang hadir menyoroti absennya Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) dalam prioritas kebijakan Gubernur Sumatera Utara. Ia menilai, pemerintah daerah seharusnya menjadikan GTRA sebagai instrumen penting untuk menyelesaikan tumpang tindih lahan dan konflik agraria yang menahun.

“Kalau GTRA tidak masuk dalam agenda prioritas gubernur, bagaimana mungkin reforma agraria bisa berjalan? Padahal forum inilah yang mestinya menjadi ruang koordinasi lintas sektor untuk menuntaskan masalah agraria di Sumatera Utara,” ujarnya dengan nada tegas.

Diskusi publik ini menegaskan bahwa menjelang 300 hari masa kepemimpinan Gubernur Sumatera Utara, isu agraria tetap menjadi luka terbuka di tengah masyarakat. Tanpa komitmen nyata dan keberpihakan pada masyarakat adat, reforma agraria hanya akan menjadi jargon tanpa makna.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top