Jakarta, 4 November 2025 — Peluncuran laporan Toxic Twenty: Daftar Hitam 20 PLTU Paling Berbahaya di Indonesia digelar di ruang galeri S. Sudjojono, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Kegiatan ini dipresentasikan oleh Center for Research on Energy and Clean Air (CREA), Center of Economic and Law Studies (CELIOS), dan Trend Asia.
Acara dibuka oleh pembawa acara, kemudian dilanjutkan dengan sesi penyampaian hasil laporan yang dipandu oleh moderator. Laporan ini mengungkap secara mendalam dampak kesehatan dan ekonomi yang ditimbulkan oleh 20 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara paling berbahaya di Indonesia, sekaligus menyoroti kesenjangan besar antara komitmen pemerintah untuk mencapai 100% energi terbarukan dan kenyataan di lapangan yang masih mempertahankan PLTU sebagai sumber energi utama.
Berulang kali Presiden Prabowo menyampaikan komitmennya untuk mencapai 100% energi terbarukan dalam sepuluh tahun ke depan. Namun, operasionalisasi PLTU batubara masih berjalan, bahkan kebijakan pensiun dini terhadap PLTU kerap kali terhambat. Gap antara ambisi politik dan realisasi di lapangan masih sangat jauh.
Temuan penelitian dan analisis CREA, CELIOS, dan Trend Asia mengungkapkan bahwa dari 20 PLTU yang diteliti, dampak kesehatannya sangat mengkhawatirkan. Setidaknya terdapat 156.000 kematian dini akibat polusi udara, dengan kerugian ekonomi mencapai USD 109 miliar atau setara Rp1.813 triliun. Penyakit yang paling banyak ditimbulkan antara lain stroke, penyakit jantung iskemik, infeksi saluran pernapasan bawah, penyakit paru obstruktif kronik, kanker paru-paru, dan diabetes.
Selain itu, kerugian ekonomi per tahun dari 20 PLTU paling berbahaya mencapai Rp52,4 triliun, sementara pendapatan masyarakat berkurang hingga Rp48,4 triliun. Akibat operasional PLTU, sekitar 1,45 juta tenaga kerja kehilangan mata pencaharian, terutama di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan yang terdampak langsung oleh pencemaran lingkungan.
Dampak di kawasan pesisir menjadi paling terasa. Banyak nelayan dan petani yang terpaksa beralih profesi menjadi pekerja migran karena mata pencaharian mereka terganggu. Pergeseran ini menempatkan masyarakat pesisir dalam kondisi kerentanan ekonomi dan sosial yang semakin buruk.

Presentasi Para Narasumber
Presentasi pertama disampaikan oleh analis CREA, Katherine Hasan, yang menegaskan pentingnya mempercepat jadwal pensiun PLTU.
“Manfaat dari jadwal pensiun bahkan bisa menyelamatkan banyak nyawa. Sebanyak 180 ribu kematian bisa dihindari sampai PLTU terakhir ditutup. Beban ekonomi yang luar biasa, sebesar 130 miliar USD, itu bisa dipakai untuk banyak hal,” ujar Katherine.
Selanjutnya, peneliti CELIOS Atina Risqiana menjelaskan tentang pra-syarat pensiun PLTU dan tantangan utama dalam implementasinya.
“Dari segi pra-syarat PLTU yang akan dipensiunkan, syarat paling besar adalah ketersediaan dana. Lagi-lagi kita bicara soal mindset bahwa PLTU itu adalah kerugian ketimbang investasi jangka panjang. Mindset seperti itu yang melatarbelakangi kebijakan-kebijakan yang kemudian lahir. Ketersediaan dana menjadi prioritas pertama bahwa sebuah PLTU itu bisa dipensiunkan,” jelas Atina yang akrab di sapa Kiki itu.
Kiki kemudian menyoroti lebih dalam mengenai aspek keadilan dalam transisi energi yang menurutnya masih belum menjadi perhatian serius dalam kebijakan pemerintah. Atina menilai bahwa selama ini pembahasan transisi energi sering kali hanya berfokus pada aspek teknis dan finansial, tanpa memperhatikan dimensi sosial serta kelompok masyarakat yang paling terdampak.
“Terlepas dari itu, presentase dari implementasi transisi energi yang berkeadilan itu kecil sekali. Tidak ada sama sekali definisi atau peta jalan tentang bagaimana keadilan itu seharusnya diterapkan. Selama ini kebijakan transisi energi ataupun pensiun dini hanya dijadikan opsional sifatnya, bukan kewajiban, bahkan keharusan. Ini juga yang harus diubah.”
Kemudian, pengampanye energi Trend Asia, Novita Indri, menyoroti peran lembaga keuangan internasional dalam proyek-proyek PLTU di Indonesia.
“Saya sedikit mau highlight peranan bank-bank multilateral seperti Bank Dunia. Kalau teman-teman ingat, di awal-awal konstruksi pembangunan Suralaya Unit 1–4 itu ada peranan dari Bank Dunia. Dan itu ada utang yang diberikan. Hampir semua pembiayaan-pembiayaan yang dibiayai oleh negara-negara ini dengan berbagai macam skema, bentuknya adalah utang,” ungkapnya.
Dalam sesi ini, para pembicara juga memperkenalkan situs web toxic20.org sebagai sumber informasi publik terkait hasil penelitian lengkap.
Testimoni Warga Terdampak
Sesi berikutnya diisi dengan kesaksian langsung dari warga yang hidup di sekitar PLTU dan merasakan dampak buruknya secara nyata.
Novi, warga Cilacap, menyampaikan bahwa keberadaan PLTU di wilayahnya membawa penderitaan bagi warga sekitar.
“Kehadiran PLTU Cilacap memberikan dampak kesehatan bagi masyarakat Winong. Dari data puskesmas, banyak anak-anak yang terkena ISPA. Akhirnya beberapa masyarakat memutuskan untuk pindah rumah karena sudah tidak mampu membayar biaya pengobatan. Selain dampak kesehatan, petani dan nelayan juga mengalami kerugian signifikan. Dulu nelayan memiliki penghasilan dari melaut, tapi untuk sekarang tahun 2025 pendapatannya 0 rupiah karena TPI mereka ditutup. Faktornya karena abrasi, akses ke laut menjadi jauh, dan banyak rumah warga tenggelam. Warga yang menolak kehadiran PLTU Cilacap akhirnya terpaksa menjual rumahnya ke PLTU daripada melihat rumahnya semakin tenggelam.”
Dari Pangkalan Susu, Dedi menuturkan kondisi laut yang kini tercemar limbah PLTU.
“Limbah PLTU seperti air bahang dibuang langsung ke laut. Tidak ada namanya disediakan waduk. Laut itu sudah penuh sama penumpukan tongkang-tongkang batubara semua. Jadi kami para nelayan Pangkalan Susu sudah tidak bisa mencari nafkah di situ lagi. Saya yang dulunya nelayan sekarang beralih profesi jadi kuli bangunan. PLTU merasa mereka yang berkuasa, kami rakyat kecil ini gak bisa apa-apa. Sekarang juga pandainya perusahaan itu, mereka memang mau membunuh. Limbah bottom ash-nya sudah berserakan di rumah-rumah warga. Abu itu dibagikan gratis ke masyarakat. Sementara tindakan dari pemerintah tidak ada. Kami juga merasakan dampak kesehatan, banyak masyarakat yang mengalami gatal-gatal, ISPA, dan paru-paru hitam.”
Sementara itu, Ahmad dari Indramayu mengungkapkan bahwa pemerintah sudah mengetahui dampak PLTU namun tetap tidak menghentikannya.
“Dampak PLTU 1 sudah diketahui pemerintah, baik itu dampak polusi, kesehatan, pertanian, dan lahan, namun pemerintah tetap tidak menghentikannya. Padahal kami sudah sering mengajukan dan menyuarakan ke media-media dan pemerintah. Kalau kita cuma rencana tapi tidak ada tindakan, ya susah. Dulunya lahan mudah dikelola, sekarang sangat susah dikelola. Ditambah lagi sekarang PLTU batubara dicampur dengan serbuk kayu. Di bidang kesehatan, dulu di puskesmas itu ada papan informasi yang dapat diakses publik terkait penyakit ISPA yang diderita karena PLTU. Namun sejak pengaduan ke PTUN, informasi itu tidak ada lagi karena menghindari gugatan atau tuntutan dari masyarakat.”
Dari Nagan Raya, Darna menuturkan bagaimana abu PLTU mengubah kehidupan masyarakat sehari-hari.
“Banyak masyarakat yang sudah pindah dari wilayah sekitar PLTU. Masyarakat merasa tidak nyaman dan nyawa kami juga terancam. Masyarakat mengalami asma, gatal-gatal, dan batuk-batuk. Abunya itu sangat ngeri. Tapak kaki saya itu hitam selalu. Rumah itu berulang kali disapu. Saya dulu buka warung, piring-piring saya semua sampai bisa ditulis karena abu PLTU. Sekarang bahan campuran batubara menggunakan sekam padi. Selain itu, pertanian kami hasilnya sudah tidak seperti dulu lagi, peternakan pun begitu. Adanya PLTU hidup kita itu bukan enak malah makin susah. Kalau pertama PLTU enak kali ngomongnya, kalau udah tua nanti gak bisa kerja dikasih sembako, padahal sampai sekarang gak ada apa-apa. Dampak PLTU ini tidak di desa kami saja, tapi juga di daerah lain. Misal di Aceh Barat, ada anak yang belum lahir dan sejak dikandungan sudah terkena asma. Sampai sekarang badannya kecil dan tidak bertumbuh.”




